Jumat, 17 Oktober 2014

Masihkah Kau Mengingatku, Ibu....??? (Part II)

setelah kejadian itu, tak pernah ada rasa ketenangan di dalam rumah yang bergaya kuno belanda itu. mutia kecil tak pernah sedikitpun mendapat asuhan juga asupan ASI dari ibunya. karena menyadari umur mutia masih terlalu kecil untuk di beri makanan selain Susu, ibu Muzza Bu Dhe mutia memberikan susu formula dan air tajin (air rebusan beras) sebagai pengganti makanan untuk mutia.

Pak Sa'id. ayah mutia yang baru datang dari perantauan telah mengerti apa yang menimpa putrinya. dengan perlahan ia mendekap putri kecilnya, "kasihan sekali kamu nak, ibu mu begitu membencimu. semoga suatu saat ibumu sadar dengan apa yang telah dilakukannya kepadamu" tetes air mata ayahnya mengalir hingga menetes mengenai pipi putri kecilnya.

setelah kejadian itu, Pak Said memutuskan untuk bercerai dengan ibu eni. bukan hanya karena faktor kebencian ibu Eni terhadap mutia, tapi juga karena faktor main belakang antara ibu eni dengan teman sekampung Pak Said yang sudah nyata-nyata ketahuan dengan kedua mata kepala Pak Said sendiri.

Mutia kecil, begitu malang nasipnya. dia di sia-siakan ibunya, dan kini dia harus menerima takdir kedua orang tuanya berpisah. kini, mutia kecil hidup dengan Bu dhenya, Ibu Muzza. ayahnya kembali pergi merantau, dan menitipkan mutia kepada Bu dhe Muzza.
sedangkan Ibu Eni, Ibu Mutia pergi entah kemana. dia hilang bagai di telan bumi, tak terdengar kabarnya sama sekali. bahkan, Nenek Rose Ibu dari Ibunya Mutia juga tak mengerti kemana gerangan perginya Eni, anak perempuan satu-satunya yang dia miliki.

(2000) tak terasa mutia kecil sudah semakin besar. kini mutia sudah mulai masuk SD walau umurnya terbilang masih terlalu kecil, dengan di bimbing dan asuhan Bu dhenya. mutia tumbuh menjadi Anak yang periang. tidak adanya Ibu Eni di sampingnya tidak menjadi beban fikiran, mutia masih sangat polos.

 ketika tiba-tiba dia bertanya kepada Bu Dhenya "Bu Dhe, Ibuku kemana ya? Ibu ku kok nggak pulang-pulang sih Bu dhe? aku kangeeenn banget sama Ibu."
sembari meneteskan air mata mendengar pertanyaan dari anak sepolos mutia, "Ibu kamu sedang kerja sayang, nyari uang buat sekolahnya mutia. kalau mutia kepengen ibu cepet pulang, Mutia harus pinter dulu sekolahnya. pasti ibu mutia akan segera pulang dan ibu mutia akan bangga melihat mutia jadi anak yang pinter.."
"jadi aku harus jadi anak yang pinter ya Bu Dhe, aku harus bisa rengking satu biar ibu bangga sama aku.." ucap mutia begitu semangat. "iya, kamu harus jadi anak yang pinter.." ucap Bu Dhe Muzza kepada Mutia dengan senyum tipis melihat kepolosan anak itu.

pagi itu, mutia menjalani harinya seperti biasa. bangun tidur, lalu mandi siap-siap untuk berangkat kesekolah. mutia tergolong anak yang mandiri. dia sudah terbiasa mandi sendiri, menyiapkan buku sendiri tapi hanya satu yang belum dia bisa dan masih membutuhkan bantuan Bu Dhenya.

"Bu Dhe.. Bu Dhe, pasangin sepatuku. aku nggak bisa nih. repot, sulit banget ya.." terdengar suara mutia dari teras depan rumahnya. "mutia, katanya anak pinter? kok masang sepatu aja nggak bisa?" celetuk Bu Dhe Muzza kepada mutia sembari memakaikan sepatu ke kaki mutia. "hehehe... kan Mutia masih kecil Bu dhe, jadi nggak papa kalau belum bisa masang sepatu..." terlihat senyum mutia mengembang dengan wajah polosnya. "mutia kan sudah SD, masak itu masih kecil..??" jawab Bu Dhenya. "ya masih kecillah Bu Dhe, kalau udah gede itu anak SMP.. hehehe" balas mutia. "ya sudah, cepat berangkat nanti terlambat di marahin Bu Guru lo.." perintah bu Dhe Muzza kepada Mutia. "Siap Bu Dhe... Mutia pamit ya. Assalamu'alaikum". "Waalaikum salam"


(Bersambung....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar