IZINKAN AKU
Oleh Alfia Al-Makky
Embun sejuk menyapa pagi
ini, secerah sinar mentari yang menghangatkan apapun yang disinarinya. Kicau
burung bernyanyi riang, bersenandung melodi-melodi cinta dan rindu kepada Sang Tuhan.
Hembusan angin menerpa pepohonan, memberikan nuansa eksotis yang berbeda,
seolah-olah mengajak pohon-pohon itu berdansa bersamanya. Dingin yang masih
menusuk semakin menambah pesona pagi yang bahagia.
“Oh Tuhan sungguh nikmat karunia-Mu”. Lirihku dalam hati.
Hampir satu jam aku menikmati keindahan ini. Aku duduk disebuah
meja, dibawah pohon rindang yang menghiasi taman Alun-Alun Kota Malang. Kulihat
banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain bersama orang tuanya. Para
remaja dan orang dewasa berjalan kesana kemari sembari menggoyang-goyangkan
tangan atau kakinya untuk sekedar meluruskan otot-otot yang kaku.
Aku masih setia duduk dibawah pohon ini, sembari membuka lembaran
buku kecil yang kubawa dari rumah. Buku
yang selalu menemaniku kapanpun dan dimanapun. Perlahan bait-bait kata terucap
dari bibirku, mengeja apa yang tertuang dalam buku ini. Perlahan kucoba
memaknai dan merasakan keindahan kata-katanya, inilah senandung cinta kataku.
Ku lirik jam yang menempel dilegan kiriku, hampir satu jam setengah
aku duduk disini, mataku pun mencoba mengamati setiap orang yang lewat
didepanku, mencari sosok yang telah kutunggu-tunggu.
“tidak biasanya dia
terlambat selama ini, semoga baik-baik saja”. Gerutuku dalam hati.
Mataku kembali tertuju kepada buku kecil ditanganku, kembali
kualunkan senandung cinta yang membuatku terus merindui sosok dalam syair itu
hingga waktupun tak terasa begitu cepat berlalu dan tak kusadari jika ada
sepasang mata yang sedari tadi memandangiku. Ya, dia telah datang. Dia yang ku
tunggu.
“Maafkan aku. Aku tidak menyadari kedatanganmu. Sudah lama kamu
duduk disini?” tanyaku kepada gadis itu.
Wajahnya yang begitu manis terlihat kusut, sedikit cemberut dan
mengerut. Entah karena apa, aku sendiri tak tahu.
“Lima belas menit yang lalu”. Ucapnya dengan nada datar.
Hening sejenak menguasai kami. Tak ada satupun kata yang terucap,
diam dan dingin. Mungkin kedinginan ini tidak sedingin musim salju di Eropa,
tapi cukup membekukan hati yang dilanda gelisah. Perlahan kucoba mengawali
pembicaraan dalam pertemuan ini, sungguh kaku sekali rasanya.
“Rin. Ma..Maafkan aku!”. Kataku terbata.
“Maaf untuk apa?”. Tanya Arini, gadis yang kini duduk disampingku.
“Untuk keinginanku yang belum bisa kamu terima”. Kata-kata itu
begitu saja meluncur dari bibirku. Sungguh aku tidak bermaksud menyakiti
hatinya. Hanya saja. Ah, aku tak bisa melanjutkannya.
“Aku tidak bisa tetap bersamamu,Rin. Maafkan aku”. Mataku mulai
berkaca-kaca. Betapa sedih dan perihnya. Tetapi ini jalan yang kuyakini
kebenarannya. Jalan menyakitkan yang harus kulewati.
“Tapi kenapa, Fan? Bukankah kau mencintaiku? Bahkan kau sangat
mencintaiku, Fan.”
Arini pun terisak. Terdengar jelas isak tangisnya di telingaku.
Miris. Perih nian hati ini karenanya. Bendungan dimataku pun sudah hampir jebol,
kucoba menahannya sekuat tenaga. Kepalaku tertunduk, sungguh tak ada keberanian
memandang wajah Arini yang kini dibanjiri dengan deraian air mata. Ingin sekali
aku menghapus air matanya, tetapi kuurungkan niat itu. Aku terdiam, berusaha
mengumpulkan kekuatan untuk menjawab pertanyaan Arini yang begitu menusuk
relung hatiku.
“Jawab, Fan! Jangan tinggalkan aku tanpa alasan. Kumohon berikan
kejelasan, Erfan!” ucap Arini dengan nada yang mulai meninggi.
Aku terkaget. Tidak pernah dia berbicara dengan nada setinggi itu.
Perlahan kurasa wajah manisnya mulai hilang, entah siapa yang mencuri senyum
manisnya dan menggantikannya dengan tangis dan rona kemarahan. Dan kusadari
jika pencuri itu adalah Aku.
Dengan kepala yang masih tertunduk dan
kekuatan yang tak sedemikian kuat membendung air mata, perlahan kucoba
mengumpulkan nafas yang tiba-tiba seakan sulit kuhirup. Sesak dada ini menahan
sedih. Pilu hati. “Tuhan beri aku kekuatan!” batinku menjerit.
Kuambil nafas panjang.
“Aku sangat mencintaimu, Rin. Tetapi ada yang lebih kucintai. Aku
memang sangat mencintaimu, Arini. Karena itu aku memutuskan hubungan kita.
Hubungan yang tak seharusnya kita jalani, Rin”.
Sedikit ada kelegaan yang kurasakan, setelah bibir ini mampu
mengungkapkan kata-kata itu kepada Arini. Walaupun belum tentu Arini akan
menerima alasanku, kuyakini dia akan memaksaku untuk menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi. Akupun tak tahu apakah aku mampu mengutarakannya atau
tidak. Rasa-rasanya ingin segera kuakhiri perbincangan ini. Rasanya aku tak
sanggup lagi jika harus melawan tangisan Arini dan jeritan hatiku yang semakin
menjadi-jadi.
“Jika kamu mencintaiku, kenapa kau meninggalkanku, Fan? Kenapa?”
“Karena aku ingin menjagamu dan menjaga diriku” kataku.
“Haruskah dengan meninggalkanku, Fan?.
“iya”. Jawabku pendek.
“ Tidak bisakah kau tetap tinggal disini menemaniku? Seperti dulu,
saat kita habiskan waktu kita bersama-sama.” Ucap Arini seraya memelas. Tatapan
matanya tertuju kepadaku yang selalu tertunduk, dia menaruh harapan besar agar
aku tetap bersamanya dan membatalkan keputusan ini
“Tidak, Rin. Aku tetap tidak akan mengubah keputusanku. Aku yakin
ini yang terbaik untuk kita”
“Mungkin terbaik untukmu, Fan. Tapi tidak untukku” Sergah Arini
seakan-akan ingin menyalahkan keputusanku.
Aku pun menarik nafas panjang. Berusaha menta kata-kata yang
terbaik untuk menjelaskan semuanya kepada Arini. Sulit memang, tetapi tidak ada
jalan lain lagi yang bisa kulakukan untuk menghentikan kekonyolanku selama ini.
“Arini Putri Anindita, bolehkah aku bertanya kepadamu?” ucapku,
seakan-akan menjadi moderator seminar internasional.
“Apa?”. Jawabnya datar.
“Apakah Anda mencintai, Erfan Ahmad?” tanyaku kemudian.
“Masihkah kamu meragukan cintaku, Fan? Aku menangis seperti ini
karena aku sangat mencintaimu”. Ungkap arini dengan begitu tegas.
Aku tersenyum, sedikit memaksa untuk tersenyum kepadanya. Seakan
menemukan jawaban yang seharusnya sudah dia ketahui dan dia mengerti sejak awal
jika memang dia mencintaiku. Kutata kembali letak dudukku, memcoba mencari
posisi nyaman untuk melanjutkan dan mengakhiri semuanya.
“Jika kamu mencintaiku, apakah kamu rela jika Tuhan menjebloskan
aku kedalam penjara-Nya?” kataku.
“Apa maksudmu, Fan?” Arinipun kembali mempertanyakan kata-kataku.
“Rin, Tuhan menciptakan cinta pada jiwa manusia bukan untuk
mencintai dengan sesuka hatinya atau berbuat sesuatu mengatas namakan ‘cinta’
semaunya. Cinta adalah fitrah, Rin. Cinta adalah kesucian hati dari pemiliknya.
Kemurnian cinta pun tergantung bagaimana manusia itu menjaganya.”
Sejenak kupandangi wajah Arini yang tertunduk, mungkin dia sedang
focus mendengarkan penjelasanku.
“Rin, Islam tidak mengajarkan kita menjaga cinta dengan pacaran.
Tetapi Islam mengajarkan kita untuk menjaga kesucian cinta itu dengan menikah.
Arini, aku memutuskan hubungan pacaran kita karena Islam tidak mengajarkannya.
Tidak ada satupun ajaran Islam yang membenarkannya.”
Arini pun masih terdiam.
“Rin, aku mencintaimu. Izinkan aku pergi untuk memperbaiki diriku,
agar suatu saat nanti jika Allah mengizinkan, aku mampu mengemban tugas sebagai
imammu. Izinkan aku memurnikan cintaku, agar Allah tidak mencemburuiku. Arini, percayalah
jika Tuhan menakdirkan kita bersama, suatu saat nanti kita akan berjumpa kembali
di waktu yang lebih tepat dengan keadaan iman yang lebih baik, dan kesiapan
hati yang lebih kuat. Jika Tuhan berkata lain, percayalah, Rin. Jika Tuhan
tidak pernah salah memberikan keputusan. Insya Allah.”
Hening. tak sepatah katapun terucap dari bibir Arini. Dia masih
tertunduk dan menangis. Kupandangi dia. Wajah sembabnya masih terlihat, rambut
panjangnya yang terurai terhempas angin. Mungkin aku akan sangat merindukannya,
sungguh aku sangat mencintainya. Tetapi aku lebih mencintai Allah SWT di atas
segalanya. Hatiku berdoa, semoga inilah yang terbaik untuk kami.
“Rin, ikhlaskan aku”. Kataku lirih. Entah ia mendengarnya atau
tidak.
Perlahan kakiku melangkah. Kutinggalkan Arini yang masih duduk
terpaku dengan isak tangis yang membasahi pipinya. Aku berjalan. Menjauh.
Semakin jauh meninggalkannya. Kuyakin suatu saat dia akan mengerti. Jika ini
semua kulakukan demi menjaganya. Ya, menjaga kehormatannya sebagai muslimah dan
menjaga keutuhan cintaku untuk-Nya.