Kamis, 20 Oktober 2016

BUTIRAN SENJA

Senja
Derai butiran air mata
luapkan segala resah
Buang segala gundah
Yang menguasai jiwa.

Inginku tenggelamkan ia
bersama sang surya. 
Hingga tetesan mutiara
Tak lagi jatuh sia-sia.

Rindu
akankah terbalas setelah sekian lama? 
Ketika tangis mencuat dengan kerasnya. 
Sejak detik pertama aku melihat indahnya dunia.

Rindu
akankah hanya kata terpendam tanpa terkuak nyatanya? 
Ketika ketakutan justru menjadi penghalang. 
Ketika bibir kelu bergetar tak mampu ungkapkan.

Biarlah ku simpan ia
akan kucoba memahami makna takdir-Nya

Surabaya, 20 Oktober 2015
Alfia Al-Makky

Rabu, 28 September 2016

KEMBALI

KEMBALI
By. Alfia Al Makky

kembali...
kembali terasa
kekuatan cinta yang telah lama dirindukan.
kekuatan rindu yang telah lama dinantikan
kekuatan ini,
kekuatan yang dulu menyentuh kalbu terdalam
kekuatan yang karenanya hati ini jatuh cinta
kekuatan yang karenanya diri ini menangis haru
kekuatan yang karenanya jantung ini berdebar.
kekuatan ini, telah kembali!
Iya, ia telah kembali.
kekuatan semangat yang kurindukan.
Iya, kini ia telah kembali.
begitu jelas terlihat
begitu nampak terasa.
kekuatan ketulusan
kekuatan keikhlasan.

inilah semangat para Pecinta.
inilah semangat para Perindu.
inilah semangat para Pejuang.

semangat ini yang selalu kurindukan.
semangat ini yang meneguhkan keyakinan.
semangat ini yang terus berkobar
walau ribuan bisik menertawakan.
inilah semangat ketulusan cinta.
bukan kedok semata.
ini semangat keikhlasan rindu.
yang akan terus menggebu hingga akhir waktu.

(perjalanan malam Jombang-Surabaya, 27 September 2015)


Kamis, 22 September 2016

SESALKU

Selamat datang
di hari yang penuh penyesalan
Setelah sekian lama menahan
Tetes sesal tak terbendungkan

Dulu aku inginkan perubahan
Menjadi sosok indah seperti mereka
Sekuat tenaga namun tetap saja
Tak ada hasilnya

Azzamku yang kurang
Atau aku yang mempermainkan ikhtiyar
Atau aku yang tergoda rayuan Syaitan
Yang terlampau manis menggoda iman

Selamat datang penyesalan
Semoga ini kali terakhir aku terpuruk
Kali terakhir aku menjumpaimu dalam hidup
Kali terakhir aku bertatap denganmu yang
Membombardir azzam dan ikhtiyarku
Luluh lantak karenamu.

Aku bisa mengalahkanmu! Nafsuku.


Surabaya, 22 September 2016

Senin, 04 Januari 2016

IZINKAN AKU



IZINKAN AKU
Oleh Alfia Al-Makky

 Embun sejuk menyapa pagi ini, secerah sinar mentari yang menghangatkan apapun yang disinarinya. Kicau burung bernyanyi riang, bersenandung melodi-melodi cinta dan rindu kepada Sang Tuhan. Hembusan angin menerpa pepohonan, memberikan nuansa eksotis yang berbeda, seolah-olah mengajak pohon-pohon itu berdansa bersamanya. Dingin yang masih menusuk semakin menambah pesona pagi yang bahagia.
“Oh Tuhan sungguh nikmat karunia-Mu”.  Lirihku dalam hati.
Hampir satu jam aku menikmati keindahan ini. Aku duduk disebuah meja, dibawah pohon rindang yang menghiasi taman Alun-Alun Kota Malang. Kulihat banyak sekali anak-anak kecil berlarian, bermain bersama orang tuanya. Para remaja dan orang dewasa berjalan kesana kemari sembari menggoyang-goyangkan tangan atau kakinya untuk sekedar meluruskan otot-otot yang kaku.
Aku masih setia duduk dibawah pohon ini, sembari membuka lembaran buku kecil yang kubawa dari rumah.  Buku yang selalu menemaniku kapanpun dan dimanapun. Perlahan bait-bait kata terucap dari bibirku, mengeja apa yang tertuang dalam buku ini. Perlahan kucoba memaknai dan merasakan keindahan kata-katanya, inilah senandung cinta kataku.
Ku lirik jam yang menempel dilegan kiriku, hampir satu jam setengah aku duduk disini, mataku pun mencoba mengamati setiap orang yang lewat didepanku, mencari sosok yang telah kutunggu-tunggu.
 “tidak biasanya dia terlambat selama ini, semoga baik-baik saja”. Gerutuku dalam hati.
Mataku kembali tertuju kepada buku kecil ditanganku, kembali kualunkan senandung cinta yang membuatku terus merindui sosok dalam syair itu hingga waktupun tak terasa begitu cepat berlalu dan tak kusadari jika ada sepasang mata yang sedari tadi memandangiku. Ya, dia telah datang. Dia yang ku tunggu.
“Maafkan aku. Aku tidak menyadari kedatanganmu. Sudah lama kamu duduk disini?” tanyaku kepada gadis itu.
Wajahnya yang begitu manis terlihat kusut, sedikit cemberut dan mengerut. Entah karena apa, aku sendiri tak tahu.
“Lima belas menit yang lalu”. Ucapnya dengan nada datar.
Hening sejenak menguasai kami. Tak ada satupun kata yang terucap, diam dan dingin. Mungkin kedinginan ini tidak sedingin musim salju di Eropa, tapi cukup membekukan hati yang dilanda gelisah. Perlahan kucoba mengawali pembicaraan dalam pertemuan ini, sungguh kaku sekali rasanya.
“Rin. Ma..Maafkan aku!”. Kataku terbata.
“Maaf untuk apa?”. Tanya Arini, gadis yang kini duduk disampingku.
“Untuk keinginanku yang belum bisa kamu terima”. Kata-kata itu begitu saja meluncur dari bibirku. Sungguh aku tidak bermaksud menyakiti hatinya. Hanya saja. Ah, aku tak bisa melanjutkannya.
“Aku tidak bisa tetap bersamamu,Rin. Maafkan aku”. Mataku mulai berkaca-kaca. Betapa sedih dan perihnya. Tetapi ini jalan yang kuyakini kebenarannya. Jalan menyakitkan yang harus kulewati.
“Tapi kenapa, Fan? Bukankah kau mencintaiku? Bahkan kau sangat mencintaiku, Fan.”
Arini pun terisak. Terdengar jelas isak tangisnya di telingaku. Miris. Perih nian hati ini karenanya. Bendungan dimataku pun sudah hampir jebol, kucoba menahannya sekuat tenaga. Kepalaku tertunduk, sungguh tak ada keberanian memandang wajah Arini yang kini dibanjiri dengan deraian air mata. Ingin sekali aku menghapus air matanya, tetapi kuurungkan niat itu. Aku terdiam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menjawab pertanyaan Arini yang begitu menusuk relung hatiku.
“Jawab, Fan! Jangan tinggalkan aku tanpa alasan. Kumohon berikan kejelasan, Erfan!” ucap Arini dengan nada yang mulai meninggi.
Aku terkaget. Tidak pernah dia berbicara dengan nada setinggi itu. Perlahan kurasa wajah manisnya mulai hilang, entah siapa yang mencuri senyum manisnya dan menggantikannya dengan tangis dan rona kemarahan. Dan kusadari jika pencuri itu adalah Aku.
   Dengan kepala yang masih tertunduk dan kekuatan yang tak sedemikian kuat membendung air mata, perlahan kucoba mengumpulkan nafas yang tiba-tiba seakan sulit kuhirup. Sesak dada ini menahan sedih. Pilu hati. “Tuhan beri aku kekuatan!” batinku menjerit.
Kuambil nafas panjang.  
“Aku sangat mencintaimu, Rin. Tetapi ada yang lebih kucintai. Aku memang sangat mencintaimu, Arini. Karena itu aku memutuskan hubungan kita. Hubungan yang tak seharusnya kita jalani, Rin”.
Sedikit ada kelegaan yang kurasakan, setelah bibir ini mampu mengungkapkan kata-kata itu kepada Arini. Walaupun belum tentu Arini akan menerima alasanku, kuyakini dia akan memaksaku untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Akupun tak tahu apakah aku mampu mengutarakannya atau tidak. Rasa-rasanya ingin segera kuakhiri perbincangan ini. Rasanya aku tak sanggup lagi jika harus melawan tangisan Arini dan jeritan hatiku yang semakin menjadi-jadi.
“Jika kamu mencintaiku, kenapa kau meninggalkanku, Fan? Kenapa?”
“Karena aku ingin menjagamu dan menjaga diriku” kataku.
“Haruskah dengan meninggalkanku, Fan?.
“iya”. Jawabku  pendek.
“ Tidak bisakah kau tetap tinggal disini menemaniku? Seperti dulu, saat kita habiskan waktu kita bersama-sama.” Ucap Arini seraya memelas. Tatapan matanya tertuju kepadaku yang selalu tertunduk, dia menaruh harapan besar agar aku tetap bersamanya dan membatalkan keputusan ini
“Tidak, Rin. Aku tetap tidak akan mengubah keputusanku. Aku yakin ini yang terbaik untuk kita”
“Mungkin terbaik untukmu, Fan. Tapi tidak untukku” Sergah Arini seakan-akan ingin menyalahkan keputusanku.
Aku pun menarik nafas panjang. Berusaha menta kata-kata yang terbaik untuk menjelaskan semuanya kepada Arini. Sulit memang, tetapi tidak ada jalan lain lagi yang bisa kulakukan untuk menghentikan kekonyolanku selama ini.
“Arini Putri Anindita, bolehkah aku bertanya kepadamu?” ucapku, seakan-akan menjadi moderator seminar internasional.
“Apa?”. Jawabnya datar.
“Apakah Anda mencintai, Erfan Ahmad?” tanyaku kemudian.
“Masihkah kamu meragukan cintaku, Fan? Aku menangis seperti ini karena aku sangat mencintaimu”. Ungkap arini dengan begitu tegas.
Aku tersenyum, sedikit memaksa untuk tersenyum kepadanya. Seakan menemukan jawaban yang seharusnya sudah dia ketahui dan dia mengerti sejak awal jika memang dia mencintaiku. Kutata kembali letak dudukku, memcoba mencari posisi nyaman untuk melanjutkan dan mengakhiri semuanya.
“Jika kamu mencintaiku, apakah kamu rela jika Tuhan menjebloskan aku kedalam penjara-Nya?” kataku.
“Apa maksudmu, Fan?” Arinipun kembali mempertanyakan kata-kataku.
“Rin, Tuhan menciptakan cinta pada jiwa manusia bukan untuk mencintai dengan sesuka hatinya atau berbuat sesuatu mengatas namakan ‘cinta’ semaunya. Cinta adalah fitrah, Rin. Cinta adalah kesucian hati dari pemiliknya. Kemurnian cinta pun tergantung bagaimana manusia itu menjaganya.”
Sejenak kupandangi wajah Arini yang tertunduk, mungkin dia sedang focus mendengarkan penjelasanku.
“Rin, Islam tidak mengajarkan kita menjaga cinta dengan pacaran. Tetapi Islam mengajarkan kita untuk menjaga kesucian cinta itu dengan menikah. Arini, aku memutuskan hubungan pacaran kita karena Islam tidak mengajarkannya. Tidak ada satupun ajaran Islam yang membenarkannya.”
Arini pun masih terdiam.
“Rin, aku mencintaimu. Izinkan aku pergi untuk memperbaiki diriku, agar suatu saat nanti jika Allah mengizinkan, aku mampu mengemban tugas sebagai imammu. Izinkan aku memurnikan cintaku, agar Allah tidak mencemburuiku. Arini, percayalah jika Tuhan menakdirkan kita bersama, suatu saat nanti kita akan berjumpa kembali di waktu yang lebih tepat dengan keadaan iman yang lebih baik, dan kesiapan hati yang lebih kuat. Jika Tuhan berkata lain, percayalah, Rin. Jika Tuhan tidak pernah salah memberikan keputusan. Insya Allah.”
Hening. tak sepatah katapun terucap dari bibir Arini. Dia masih tertunduk dan menangis. Kupandangi dia. Wajah sembabnya masih terlihat, rambut panjangnya yang terurai terhempas angin. Mungkin aku akan sangat merindukannya, sungguh aku sangat mencintainya. Tetapi aku lebih mencintai Allah SWT di atas segalanya. Hatiku berdoa, semoga inilah yang terbaik untuk kami.
“Rin, ikhlaskan aku”. Kataku lirih. Entah ia mendengarnya atau tidak.
Perlahan kakiku melangkah. Kutinggalkan Arini yang masih duduk terpaku dengan isak tangis yang membasahi pipinya. Aku berjalan. Menjauh. Semakin jauh meninggalkannya. Kuyakin suatu saat dia akan mengerti. Jika ini semua kulakukan demi menjaganya. Ya, menjaga kehormatannya sebagai muslimah dan menjaga keutuhan cintaku untuk-Nya.

Sabtu, 26 Desember 2015

BUKAN LAYLA MAJNUN



BUKAN LAYLA MAJNUN
By Alfia Al-Makky

Masih adakah...
manusia serupa Qais Majnun abad ini?
yang mencintai kekasihnya
tak peduli siapapun mencemoohnya
tak mendengar hujatan-hujatan sekelilingnya

masih adakah...
manusia seperti Majnun di abad ini?
Majnun yang gila cinta
Majnun yang gila rindu
bukan kepada Layla
tetapi Muhammad, Nabinya

Muhammad yang membisukan mulutnya
dari sanjung puja kepada selainnya
Muhammad yang membutakan matanya
Dari hasrat memandang kekasih selainnya.
Hati bertanya, apakah engkau Sang Majnun itu?

Wahai Majnun, Sang Pecinta yang entah siapa.
engkau mencintai dia yang tak pernah engkau lihat
engkau meyakini dia yang hidup jauh berabad-abad
engkau mengimani yang ia ajarkan dari Tuhanmu
sekalipun engkau tak pernah memandangnya
Duhai Majnun, sungguh gilanya cintamu.

Aduhai diri yang mengaku mencintai
adakah engkau Sang Majnun itu?
Yang rela mengorbankan segalanya demi cinta
Harta, tahta, dunia dan isinya
Hanya demi kekasihmu, Muhammad.

Aduhai diri yang mengaku merindui.
Adakah engkau, Sang Majnun itu?
Yang rela melakukan apa saja
Lelah, letih tak kau rasa
karena rindumu yang membahana
demi pandangan cinta dari Sang Rasul yang mulia.


Surabaya, 26 Desember 2015 / 14 Robi’ul Awwal 1437 H

Kamis, 24 Desember 2015

PANGGILAN CINTA



PANGGILAN CINTA
Oleh Alfia Al-Makky

Dari selasar masjid nan jauh
Daku berkirim surat cinta
Terbungkus sejuta rindu
Untuk dia, kekasih hatiku

Dari tanah yang jauh
Daku termenung dan terpaku
Duhai kekasih...
andai engkau disini
andai engkau menemaniku
Takkan sedahsyat ini rindu
Yang menjerat hatiku

Duhai kekasih Sang Maha Pengasih
Duhai cinta Sang Maha Mencintai
Aku memohon, mengharap kasihmu
Aku memelas, mengemis cintamu

Duhai Kekasih...
Aku tak peduli apa kata mereka tentangku
Kecintaan ini menulikan telingaku
Kerinduan ini membutakan mataku
Menutup pandangan kepada selainmu

Duhai kekasih...
Pandanglah diri ini, dengan pandangan rindu
Panggillah diri ini dengan panggilan cintamu
Obatilah rinduku yang semakin menggunung
Dengan senyuman dan sapaanmu

Duhai kekasih hati...
Rengkuhlah tanganku
Bawalah daku yang hina ini bersamamu
Hidup berdampingan didalam Surga Kekasihmu
Sungguh, daku memohon belas kasihmu

Duhai kekasih...
Dosaku meluas, melebihi luas tujuh langit
Dosaku terlampau dalam, melebihi dalamnya tujuh bumi
Apalah yang bisa kuharap
Selain pandangan dan Syafaatmu, Duhai kekasihku

Salam rinduku, senantiasa tercurah untukmu
Manusia termulia, manusia tersempurna
Semoga engkau membalas salamku

Surabaya, 24 Desember 2015 / 12 Robiul Awwal 1437 H